Friday, February 12, 2010

Orangtua dan Anak

Kita semua memiliki orang tua, dan mungkin sebagian lagi adalah orang tua. Tidak peduli apakah itu orang tua kandung, orang tua angkat, atau orang yang kita pandang sebagai orang tua, yang telah merawat dan membesarkan kita, dan yang pandangannya kita anut. Saya terinspirasi menuliskan hal ini dikarenakan pengalaman pribadi saya sebagai anak, dan proses bertukar pikiran dengan orang tua saya.

Ceritanya (kejadian ini pada akhir tahun lalu), saya adalah seorang jobseeker, yang -tentu saja- sedang mencari-cari pekerjaan. Suatu hari, bapak saya menemukan lowongan dari sebuah perusahaan BUMN besar di Indonesia, yang tesnya bertempat di Batam. Bapak saya menelpon saya (pada saat itu saya ada di luar kota dan memang berencana untuk pulang dalam beberapa hari) dan meminta saya untuk pulang secepatnya. Pendapat bapak saya ini saya sahut dengan,"waduh, pak, di Batam? Ngapain aku di sana?" Lalu bapak menyahut,"oh, gitu? Ya sudahlah" dan kami pun mengakhiri pembicaraan itu.

Lusanya saya pulang ke rumah orangtua saya. Di keluarga saya, bapak-mama saya memiliki kebiasaan untuk duduk-duduk di teras rumah pada sore hari. Dan saya (jika sedang di rumah) sering bergabung bersama mereka. Pada saat itulah pembahasan mengenai lowongan itu muncul lagi ke permukaan. Saya melihat minat bapak saya yang begitu besar akan pekerjaan itu, dan karena itu saya berkata,"iyalah pak. Kupikir-pikir kesempatan ini bagus juga. Kucoba ajalah. Siapa tahu Tuhan kasih." Dan saya pun mengirimkan berkas saya keesokan harinya.

Jauh setelah hal ini terjadi (tepatnya baru kemarin siang) abang saya menceritakan kepada saya mengenai reaksi bapak pada perkara itu. Kata abang saya, kemarin waktu saya tes ke Batam itu, bapak cerita,"iya, kata si Ria, sebenarnya dia malas juga tes ke Batam itu. Tapi dibilangnya,"karena bapak bilang ikut, makanya aku ikut". Yang mengejutkan saya (tepatnya bukan terkejut, tapi membuat perasaan saya campur aduk, antara senang, bangga, dan bingung) bapak saya menyahut dengan bangga,"Berarti memang bapaknya aku kan?"

Terkadang perasaan orangtua dan anak begitu sulit diselami. Apa yang dipandang baik oleh orangtua, seringkali tidak menarik bagi anak, dan sebaliknya. Jadi bagaimana agar kedua peran ini dapat hidup berdampingan dengan sejahtera dan sukacita. Kuncinya adalah kompromi. Bapak-Ibu perlu melebarkan pelukannya dan membiarkan anaknya memilih jalan hidupnya, seperti anak perlu memagari dirinya dengan batasan-batasan kesedihan orangtua. Orangtua wajib mengenal pribadi anaknya dan berhak memberikan wejangan dan panduan untuk kebaikan hidup anaknya, sementara anak wajib menyenangkan orangtua dan berhak memilih jalan hidupnya sendiri.

Misalnya, ketika ada pilihan yang harus diambil, orangtua bisa saja tidak memerintahkan pilihan tertentu, tapi dengan hak dan kewajibannya, mereka boleh berkata (ini dari kata-kata orangtua saya langsung),"Terserah nak. Hidupmu ini. Kau yang memilih yang kau rasa baik. Kau-nya yang menghidupi hidupmu. Tapi kalau pendapat bapak/mama bla..bla..bla.." Atau, terkadang, anak memilih jalan yang salah, yang telah diperingatkan orangtuanya sebelumnya untuk tidak diambil, tapi orangtua tidak "boleh" berkata,"Sudah kubilang", orangtua bisa berkata, "cari jalan keluarmu nak, ini pilihanmu, dan apa pun yang kau pilih, adalah tanggung jawabmu, kalau ada yang bisa bapak/mama bantu, bilanglah."

Singkat kata, ada satu frase yang saya sangat pegang dalam hidup ini (disampaikan oleh mama saya),"Nak, seperti apa kau sebagai anak kepada orangtuamu, seperti itulah anakmu kepadamu sebagai orangtua"
Intinya: jangan susahkan hidup orangtuamu, maka anakmu pun tidak akan menyusahkan engkau.

Wednesday, February 10, 2010

Don't Trade Jesus

Hari valentine, identik dengan hari kasih sayang. Hari cinta kata orang. Jika dikaitkan dengan kata "cinta" setiap orang yang pernah merasakannya akan teringat dengan berbagai perasaan, dari perasaan senang, girang, sedih, putus asa, rindu, dan sebagainya. Buat orang yang "sombong" dan mengaku telah merasakan cinta sejati, dia mengaku tak ada yang lebih indah daripada cinta. Demi cinta dia telah meninggalkan keluarganya, nilainya, dan Tuhannya.

Kata mereka yang merasakan cinta sejati itu, cinta harus berkorban, makanya dia rela meninggalkan keluarganya.

Kata mereka yang merasakan cinta sejati itu, cinta tidak mengenal perbedaan, dan dalihnya, semua tuhan itu sama, makanya tidak masalah siapa yang disembahnya dan apa agamanya, selama mereka tetap saling mencintai.

Sebenarnya, note ini ditulis sehubungan dengan beberapa sahabat yang mengaku tengah jatuh cinta, dan benar-benar meninggalkan tuhannya, ntah dengan tidak beribadah lagi, atau yang paling saya benci, dia menukarkan tuhannya dengan sesuatu yang katanya cinta.

Ini bukan kajian pintar, yang melibatkan acuan pustaka, atau kata para ahli, ini cuma sekedar pikiran yang berkecamuk dalam diri saya ketika saya menemukan hal sedemikian. Saya sejujurnya tidak begitu mempermasalahkan (atau peduli tepatnya) jika ada orang yang mengganti nama tuhannya dengan kesadaran penuh dan keyakinan akan kebenaran. Hei, Tuhan berbicara pada masing-masing orang dengan bahasaNya, tapi harus kita akui otak kita yang pintar lebih suka menerjemahkan kata-kataNya ke dalam tafsiran kita sendiri. Kalau buat saya sendiri, kebenaran hanya ada dalam Alkitab, dan Kristus Yesus, tapi siapa pun bebas memiliki kebenarannya sendiri bukan?

Tak jadi masalah jika kau berpikir bahwa yang kau ketahui selama ini bukanlah kebenaran, dan kebenaran ada di tuhan lain yang kebetulan adalah tuhan kekasihmu, tapi wajarkah jika kebenaran yang lebih dulu kau tangkap adalah kebenaran kekasihmu dan bukan kebenaran tuhanmu? Itu seperti, memakan ekor ikan dan mengatakan kau sudah memakan satu ikan.

Kajilah cintamu dengan teliti, dahulukan Tuhanmu sebelum kekasihmu. Sendengkanlah telingamu dan dengarkanlah suaraNya. Jika memang imanmu dan pengertianmu akan Yesus belum sebaik itu, perbaikilah dulu, lalu kau boleh membandingkannya sesuai dengan hikmat Tuhan, tapi jangan memaksakan pemikiranmu, atau malah tidak berpikir sama sekali. Karena, mungkin kau dan kekasihmu akan bersama selama, katakanlah 50 tahun, tapi kehidupan kekalmu tidak ada di tangan kekasihmu. Kehidupan kekal diberikan kepada mereka yang percaya kepada Kristus Yesus, dan jika kau menukarkannya untuk bersama-sama dengan kekasihmu, semoga Tuhan menolongmu.

Secara keseluruhan, pendapat saya pribadi tidaklah rumit:
Tidak ada lelaki yang cukup baik, cukup pintar, cukup perhatian, cukup penuh cinta atau pun cukup kaya, yang dapat ditukarkan dengan pengorbanan Yesus yang telah menghapuskan dosa saya, yang menunjukkan betapa DIA mencintai saya.

Monday, December 21, 2009

Introduction

Hello bro and sis. I'm a newbie on blogging. I love to think, but I found it a problem to write down my idea. I hope by begin to write down some simple tense, I will be able to write down more at the end.
FYI, I'm not from a country who speaks English, but I want to use it for practice, so if you found some grammatical error on my blog, i apologize.